Kamis, 23 Juni 2016

Soal dan Jawaban UAS Mata Kuliah Pengantar Pendidikan

Hari ini saya bakal share soal-soal MID & UAS jaman kuliah yang masih saya simpen. Maaf apabila terdapat kesalahan pada soal dan jawaban. 13 Desember 2011, UAS Mata Kuliah Pengantar Pendidikan (Semester I), dulu mah kita ngusulin take home, jadi walau hanya 2 soal, jawabannya udah kayak makalah.

1. Kemukakan gambaran manusia seutuhnya! Bagaimana peranan pendidikan?

HAKIKAT MANUSIA

Tuhan menciptakan mahluk yang mengisi dunia fana ini atas berbagai jenis dan tingkatkan. Dari berbagai jenis dan tingkat mahluk Tuhan tersebut, manusia adalah mahluk yang paling mulia dan memiliki berbagai kelebihan. Kelebihan manusia apabila dibandingkan dengan mahluk lain (hewan) sangatlah banyak, selain memiliki insting sebagaimana yang dimiliki hewan, manusia adalah mahluk yang memiliki beberapa kemampuan, antara lain berfikir, rasa keindahan, perasaan batiniah, harapan, menciptakan, dan lain lain. Sedangkan kemampuan hewan lebih bersifat instingtif dengan kemampuan berfikir sangat rendah, mereka cenderung berfikir untuk mencari makan, mempertahankan diri, dan mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya.

Pada hakikatnya, hewan tidak menyadari tugas hidupnya. Ia melakukan sesuatu atas dorongan dari dalam jiwanya. Dorongan itu merupakan perintah baginya yang harus dilaksanakan apabila ia menemui rintangan dari luar, misalnya gangguan oleh manusia atau hewan lain, dengan bermacam-macam usaha barulah ia melawan instingnya. Lain halnya manusia, selain sebagai mahluk instingtif, manusia juga mampu berfikir, mampu mengubah, dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan rasa keindahan dan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, manusia adalah mahluk moral dan religius.

Berdasarkan penjelasan tentang perbedaan manusia dan hewan diatas, timbullah pertanyaan , ”apakah manusia itu ?”. Beberapa pandangan mengenai hakikat manusia disebutkan secara singkat sebagai berikut:

a. Pandangan Psikoanalitik

Tokoh psikoanalitik (Hansen, Stefic, Wanner, 1977) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh nasibnya tetapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya.

Sigmund Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian seseorang terdiri dari tiga komponen yakni: ide, ego dan super ego. Masing-masing komponen tersebut merupakan berbagai insting kebutuhan manusia yang mendasari perkembangan individu. Dua insting yang paling penting adalah insting seksual dan insting agresi yang menggerakkan manusia untuk hidup dengan prinsip pemuasan diri.

Fungsi ide adalah mendorong manusia untuk memuaskan kebutuhannya setiap saat sepanjang hayat. Namun, fungsi ide untuk menggerakkan tersebut ternyata tidak dapat leluasa menjalankan fungsinya karena menghadapi lingkungan yang tidak dapat diterobos begitu saja. Banyak pertimbangan yang harus diperhatikan yang tidak dapat dilanggar begitu saja.

Lain halnya dengan ide, fungsi ego adalah menjembatani tuntutan ide dengan realitas dunia luar. Dia mengatur dan mengarahkan pemenuhan ide dalam memuaskan instingnya selalu mempertimbangkan lingkungannya. Dengan demikian ego lebih berfungsi kepribadian, sehingga perwujudan fungsi ide itu menjadi tanpa arah. Dalam perkembangan lebih lanjut, tingkah laku seeseorang tidak hanya ditentukan oleh fungsi ide dan ego saja, melainkan juga fungsi yang ketiga yakni super ego.

Super ego tumbuh berkat interaksi antara individu dan lingkungannya yang terdiri dari aturan, nilai, moral, adat istiadat, tradisi , dsb. Dalam hal ini fungsi super ego adalah mengawasi agar tingkah laku seseorang sesuai dengan aturan, nilai, moral, adat istiadat, yang telah meresap pada diri seseorang. Dengan demikian super ego memiliki fungsi kontrol dari dalam diri individu.

Demikianlah bahwa kepribadian seseorang berpusat pada interkasi antara ide, ego dan super ego yang menduduki peranan perantara antara ide dengan lingkungan dan antara ego dengan super ego. Sedangkan peranan ego dalam menjembatani ide dengan super ego dapat dilihat dalam kaitannya dengan kecenderungan seseorang untuk berada pada dua ekstrem. Seseorang yang didominasi idenya tingkah lakunya impulsif, dan seseorang yang didominasi super egonya cenderung berperilaku moralistik.

Dari pandangan yang tradisional di atas, berkembanglah paham baru yang disebut neoanalitik. Paham ini berpendapat bahwa manusia tidak seperti binatang yang digerakkan oleh tenaga dalam (innate energy). Tingkah laku manusia itu banyak yang terlepas dan tidak dapat disangkutkan dari dalam. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menanggapi berbagai jenis perangsang dan perwujudan diri itu hanya sebagian saja yang dapat dianggap sebagai hasil tenagan dalam. Pada masa bayi, manusia memang menanggapi dunia dengan insting-instingnya untuk memenuhi kebutuhannya misalnya lapar. Namun, tingkah laku instingtif tersbut makin dewasa makin berkurang dan akhirnya sebagian besar tingkah laku tersebut didasarkan pada rangsangan dari lingkungannya. Kaum neoanalis pada dasarnya masih meyakini adanya komponen ide, ego dan super ego, namun lebih menekankan pentingnya ego sebagai pusat kepribadian individu. Ego tidak dipandang sebagai fungsi pengarah perwujudan ide saja, melainkan sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan tanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.

b. Pandangan Humanistik

Pandangan humanistik (Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan Freud bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap nasibnya sendiri. Tokoh humanis (Rogers) berpendapat bahwa manusia itu memiliki dorongan untuk menyerahkan dirinya sendiri ke arah positif, manusia itu rasional, tersosialisasikan dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia mampu mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Jika manusia dalam keadaan yang memungkinkan dan mempunyai kesempatan untuk berkembang maka akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang maju dan positif, terbebas dari kecemasan dan menjadi anggota masyarakat yang bertingkah laku secara memuaskan.

Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa pribadi manusia sebagai aliran atau arus yang terus mengalir tanpa henti, tidak statis, dan satu kesatuan potensi yang terus-menerus berubah. Pandangan Adler (1954) bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab social serta oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih dari itu bahwa “individu melibatkan dirinya dalam bentuk usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri dalam membantu orang lain dan membuat dunia menjadi lebih baik untuk ditempati”.

Martin Buber (1961) tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia berdosa dan dalam genggaman dosa. Buber berpendapat bahwa manusia tidak dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ini atau itu. Manusia merupakan suatu keberadaan (eksistensi) yang berpotensi. Namun, dihadapkan pada kesemestaan atau potensi manusia itu terbatas. Keterbatasan ini bukanlah keterbatasan yang mendasar (esensial), tetapi keterbatasan faktual semata-mata. Ini berarti bahwa yang akan dilakukan oleh manusia atau perkembanagn manusia itu tidak dapat diramalkan dan manusia masih menjadi pusat ketakterdugaan (surprise) dunia. Tetapi perlu diingat, ketakterdugaan ini merupakan ketakterdugaan yang terkekang dan kekangan ini amat kuat. Manusia itu tidak pada dasarnya baik, atau jahat, tetapi manusia itu dengan amat kuat mengandung kedua kemungkinan ini. Justru inilah keterbatasan manusia, yaitu adanya kemungkinan untuk menjadi jahat. Perlu juga diingat bahwa ketetbatasan ini sifatnya hanya faktual belaka, tidak mendasar. Kejahatan yang ada pada diri manusia (dilambangkan dengan perbuatan Adam memakan buah larangan di surga) bukanlah keingkaran pada Tuhan, melainkan semata-mata untuk mewujudkan kemanusiaan manusia oleh manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang cerdik yang tidak merasa puas dalam keadaan yang aman, tentram, bahagia dan tergoda untuk melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Namun anehnya, setelah aturan “dilanggar” terkuaklah sejarah kemanusiaan yang sejati melalui berbagai ketidak pastian, perjuangan dan kegagalan. Sejarah kemanusiaan ini sejalan dengan aturan Tuhan.

c. Pandangan Behaviouristik

Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk, 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia. Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti teopri pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik dan jelek, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi kepribadian individu semata-mata tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembanagan individu dan sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan. Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciri-ciri penting yang ada pada manusia dan yang tidak ada pada ciri-ciri mesin atau binatang, seperti kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta.

Dalam menanggapi kritik ini, Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan-kemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Semua ciri yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Dibandingkan dengan binatang mungkin manusia adalah binatang yang sangat unik, binatang yang bermoral , namun manusia tidak dapat dikatakan memiliki moralitas. Yang disebut sebagai moral itupun mewujudkan dalam tingkah laku sebagai hasil belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah mendehumanisasikam manusia, melainkan justru memanusiakan manusia, yaitu mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang didekati secara ilmiahlah kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat manusia dipertinggi.

Setelah mengikuti beberapa pandangan tentang manusia tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa pengertian bahwa: (1) Manusia pada dasarnya memiliki “tenaga dalam” yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya; (2) Dalam diri manusia (individu) ada fungsi yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku sosial dan rasional individu; (3) Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan positif, mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan “nasibnya” sendiri; (4) Manusia pada hakikatnya dalam proses “menjadi”, berkembang terus tidak pernah selesai, (5) Dalam hidupnya, individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati; (6) Manusia merupakan suatu keberadaaan berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan, namun potensi ini terbatas; (7) Manusia adalah mahluk Tuhan yang mengandung kemungkinan baik dan jahat; dan (8) Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku ini merupakan wujud kepribadian manusia.

Pandangan yang meyeluruh tentang manusia seyogyanya tidak hanya menekankan salah satu atau beberapa aspek saja dan ciri ciri hakikat tersebut di atas. Di Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Menurut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Setiap manusia mempunyai keinginan untuk mempetahankan hidup dan menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia memberikan pedoman bahwa kebahagian hidup manusia akan tercapai apabila manusia itu didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam.

Pancasila menempatkan manusia dalam keseluruhan harkat dan martabatnya yang Tuhan Yang Maha Esa, manusia menjadi titik tolak dari usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, dan manusia dengan segenap lingkungan hidupnya. Adapun manusia yang kita pahami bukanlah yang luar biasa, melainkan manusia yang memiliki kekuatan juga manusia yang dilekati dengan kelemahan-kelemahan, manusia yang di samping memiliki kemampuan kemampuan juga mempunyai sifat-sifat keterbatasan keterbatasan manusia yang disamping mempunyai sifat-sifat yang kurang baik manusia yang hendak kita pahami bukanlah manusia kita tempatkan di luar batas kemampuan dan kelayakan manusiawi tadi.

Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang merupakan kesatuan buIat perlu dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dalam hidup secara layak diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Dalam mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih bank, mustahillah hal itu di kerjakan sendiri oleh seseorang tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat.

Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan jiwanya semata mata melainkan terletak pada kemampuannya untuk bekerjasama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dengan masyarakat itulah manusia menciptakan kebudayaan , yang pada hakekatnya membedakan manusia dari segenap mahluk hidup lainnya, yang mengantarkan manusia pada tingkat mutu, martabat dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada masa sekarang dan zaman yang akan datang. Kesadaran akan hal-hal tersebut di atas selanjutnya menimbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia teranggil hatinya untuk melakukan apa yang baik untuk orang lain dan masyarakatnya. Semuanya itu melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hubungan soaial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya , manusia perlu mengendalikan diri dari kepentingan merupakan suatu sikap yang mempunyai arti sangat penting dan merupakan sesuatu yang diharapkan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan dan stabilitas masyarakat.

Konsepsi manusia seutuhnya merupakan konsepsi ideal kemanusiaan yang terletak pada pengertian kemandiriannya, bahwa manusia dengan keutuhan unsur-unsurnya akan memiliki nilai diri yang spesifik. Kemandirian bukan berarti menyendiri atau serba sendiri. Seseorang yang mandiri adalah seseorang yang berhasil membangun nilai dirinya sedemikian sehingga mampu menempatkan perannya dalam alam kehidupan kemanusiaannya dengan penuh manfaat. Kemandirian seseorang dapat terukur misalnya dengan sejauh mana kehadiran dirinya memberikan manfaat kearah kesempurnaan dalam sistemnya yang lebih luas.

Berdasarkan observasi empirik atas unsur-unsur pembentuknya, deskripsi ringkas upaya pembentukan manusia seutuhnya dapat dikemukakan sebagai berikut.

Secara fisik manusia ditunjukkan oleh kebadanannya, yaitu tubuh dari kehidupannya. Badan hidup ini bersifat khas dan berbeda dari tumbuhan maupun binatang karena memiliki kesadaran dan kemampuan berfikir dalam bentuk penalaran rasional dan emosional. Dengan hidup dan penalarannya manusia tidak menjadi individualis yang mengisolasi diri, melainkan membangun kemampuannya untuk berkomunikasi dengan lingkungan alam, kehidupan dan kemanusiaannya membentuk masyarakat kemanusiaan. Masyarakat manusia ini ternyata kemudian mampu membangun tata krama etika peradabannya. Perolehan atas nilai luhur etika ini menempatkan manusia pada posisi terhormat dalam lingkungannya, sesuai dengan hidayah yang Maha Kuasa mampu meraih takwa, menyadari keberadaannya sebagai khalifatullah fil ardhi.

Kebalikan dari upaya pembentukan unsur keutuhan kemanusiaan di atas, dapat dikemukakan dalam deskripsi pengamatan empiris pemberian nilai kemanusiaan yang seutuhnya sebagai berikut.

Pancaran cahaya ketakwaan seseorang nampak dari wajah dan tubuhnya sehingga mampu ditangkap dan mempertemukannya dengan manusia yang bertakwa pula. Selanjutnya diungkapkan pula dalam kenyataan nilai etika seseorang sebagai moralitas tatakrama dan sopan santunnya yang membuka jalan bagi dirinya untuk melakukan komunikasi dan pergaulan di dalam masyarakat. Lebih lanjut keberhasilan berkomunikasi akan membuka jalan bagi dirinya untuk bertukar pikiran membahas pengertian tentang sesuatu sesuai dengan tingkat penalarannya. Bila berhasil dicapai kesefahaman maka sesuatu yang dibahas ini akan menjadi bentuk nyata kegiatan fisik, wahana kerja sama dan terapan iptek.

Berdasarkan pikiran dimikian dapat diuraikan konsepsi manusia seutuhnya ini secara mendasar yakni mencakup pengertian sebagai berikut:
  1. Keutuhan potensi subyek manusia sebagai subyek yang berkembang.
  2. Keutuhan wawasan (orientasi) manusia sebagai subyek yang sadar nilai yang menghayatidan yakin akan cita-cita dan tujuan hidupnya

PENDIIDKAN MANUSIA SEUTUHNYA

Prinsip pendidikan menusia seutuhnya berlangsung seumur hidup didasarkan atas berbagai landasan yang meliputi:

1.Dasar-Dasar Filosofis

Filosofis hakikat kodrat martabat manusia merupakan kesatuan integral segi-segi (potensi-potensi): (esensial): Manusia sebagai makhluk pribadi (individual being)] Manusia sebagai makhluk social (sosial being) Menusia sebagai makhluk susila (moral being) Ketiga potensi diatas akan menentukan martabat dan kepribadian menusia. Jika ketiga potensi itu dilaksanakan secara seimbang, maka akan terjadi kesenambungan

2.Dasar-Dasar Psikofisis

Merupakan dasar-dasar kejiwaan dan kejasmanian manusia. Realitas psikofisis manusia menunjukkan bahwa pribadi manusia merupakan kesatuan antara potensi-potensi dan kesadaran rohaniah baik dari segi pikis, rasa, karsa, cipta, dan budi nurani.

3.Dasar-Dasar Sosio-Budaya

Meskipun manusia adalah makhluk ciptaan tuhan namun manusia terbina pula oleh tata nilai sosio-budaya sendiri. Inilah segi-segi buhaya bangsa dan sosio psikologis manusia yang wajar diperhatikan oleh pendidikan. Dasar-dasar segi sosio budaya bangsa mencakup: Tata nilai warisan budaya bangsi seperti nilai keutuhan, musyawarah, gotong royong dan tenggang rasa yang dijadikan sebagai filsafat hidup rakyat. Nilai-nilai filsafat Negara yakni pancasila Nilai-nilai budaya nasional, adapt istiadat dan lain-lain. Tata kelembagaan dalam hidup kemasyarakatan dan kenegaraan baik bersifat formal maupun nonformal

Tujuan Pendidikan Manusia Seutuhnya


Tujuan untuk pendidikan menusia seutuhnya dengan kodrat dan hakekatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya seoptimal mungkin. Adapun aspek pembawaan (potensi manusia) meliputi: potensi jasmani (fisiologis dan pancaindra) dan potensi rohaniah (psikologis dan budi nurani).


2. Baca pengertian pendidikan dalam UU tentang sistem pendidikan nasional No. 20 tahun 2003, kemudian bahas (boleh dikritisi) pengertian pendidikan tersebut sesuai dengan gambaran manusia itu seutuhnya!

Pasal 1 UU No 20 Tahun 2003

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pendidikan adalah:


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri. Tetapi, untuk kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan.

Untuk mengatahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Berdasarkan definisi di atas, didapat 3 (tiga) pokok pikiran utama yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Di bawah ini akan dipaparkan secara singkat ketiga pokok pikiran tersebut.

1. Usaha sadar dan terencana.

Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh karena itu, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan, baik dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun operasional (proses pembelajaran oleh guru). Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007.

Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

2. Mewujudkan Suasana Belajar dan Proses Pembelajaran Agar Peserta Didik Aktif Mengembangkan Potensi Dirinya

Pada pokok pikiran yang kedua ini, dilihat adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran kedua ini, dapat ditangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, terlihat juga ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan:  (a) Mewujudkan suasana belajar, (b) Mewujudkan proses pembelajaran.

a. Mewujudkan Suasana Belajar

Berbicara tentang mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan lingkungan belajar, diantaranya mencakup:

Lingkungan Fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan

Lingkungan Sosio-Psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru dalam mengelola kelas (classroom management) menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak bahwa peran guru lebih diutamakan sebagai fasilitator belajar siswa .

b. Mewujudkan Proses Pembelajaran

Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk menciptakan kondisi dan pra kondisi agar siswa belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut untuk dapat mengelola pembelajaran (learning management), yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran (Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan sebagai agen pembelajaran (PP 19 tahun 2005) atau dengan kata lain guru sebagai manajer pembelajaran, dimana guru bertindak sebagai seorang planner, organizer dan evaluator pembelajaran.

Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran, proses pembelajaran pun seyogyanya didesain agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar.

3. Memiliki Kekuatan Spiritual Keagamaan, Pengendalian Diri, Kepribadian, Kecerdasan, Akhlak Mulia, Serta Keterampilan yang diperlukan Dirinya, Masyarakat, Bangsa dan Negara.

Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yang sudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.

Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga dari definisi pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru. Selanjutnya tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar