Kamis, 24 Maret 2016

Ciri Khas Makanan Jawa

 
Moci moci!!! :D

Tulisan ini berawal dari peristiwa memalukan yang terjadi semalam, begadang tanpa alasan yang jelas, bangun kesiangan, nggak sempet makan banyak apalagi masak, hingga akhirnya sahur ditemani puing-puing wingko dan growol dari Pakde Senen. Sambil menunggu adzan shubuh, saya dan adik saya bercerita mengenai makanan khas Jawa yang pernah Mbah buat. Perhatian kami tertuju pada beberapa makanan nggak ringan-ringan amat (hehe) berbahan dasar singkong. Kreatif banget ya, dari satu singkong bisa jadi macem-macem makanan, ada gethuk, gatot, tiwul, lemet, binggel, cemplon, krecek telo, growol, lanting, ya, hanya itu yang saya tahu :D. Untuk memuaskan rasa penasaran saya, saya searching, kenapa singkong? Ada apa dengan singkong? Oh singkong, jawab singkong? Hemm...

Namun, karena keterbatasan saya sebagai manusia, mungkin juga karena saya mengetik kata kunci yang tidak tepat, saya hanya bisa berspekulasi. Berbekal kuota internet seadanya, saya berselancar di wikipedia. Berikut ini kurang lebih sejarahnya:

Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong dibawa oleh Portugis masuk ke Indonesia (Maluku) sekitar abad ke-16. Singkong kemudian ditanam secara komersial di wilayah Indonesia pada sekitar tahun 1810. Butuh waktu lama bagi singkong untuk menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa, diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada tahun 1852 hingga sekitar tahun 1875 konsumsi singkong di Jawa masih rendah.

Pada permulaan abad ke-20, konsumsi singkong meningkat pesat, pembudidayaannya meluas, terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka. Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat dan produksi padi yang tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Nusantoro dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini, singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Bahkan Indonesia masuk dalam tiga negara penghasil singkong terbesar di dunia.

Itu bagus bukan? Singkong sebagai salah satu solusi, mengingat permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia dengan persepsi masyarakat bahwa makanan pokok adalah beras, tingginya konsumsi terigu nasional, dan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita diabetes dan obesitas terbesar se-Asia Tenggara. Beras yang menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia merupakan sumber pangan dengan kadar indeks glikemiks tertinggi no.2 setelah terigu dan salah satu pemicu kenaikan gula darah dalam waktu cepat (kurang lebih 2 jam). Hal tersebut berdampak buruk bagi penderita diabetes yang tidak dapat menghasilkan insulin dengan cepat untuk mengubah gula menjadi energi. Disisi lain, tepung terigu memiliki kandungan alumunium yang cukup tinggi (40%) dan mengakibatkan gangguan syaraf, pernafasan, hingga pembentukan tulang. Bahkan di China, tepung terigu dapat dikategorikan sebagai pembunuh besar rakyat China yang sekitar 32,5% rakyatnya kelebihan aluminium yang terdapat dalam tepung terigu. Sedangkan sumber karbohidrat lain seperti jagung, umbi-umbian, singkong, kentang, dsb memiliki rata-rata kandungan indeks glikemiks dibawah 50%.

Alhamdulillah, sahur seadanya ini ternyata lebih sehat, hehe, oya denger-denger growol bagus loh untuk pencernaan, nih ada referensinya: (Nugraheni, Mutiara. 2012. Potensi Makanan Fermentasi Sebagai Makanan Fungsuinal. Makalah Seminar Nasional FT UNY). Untuk manfaat singkong serta kandungan vitamin dan mineralnya bisa dibaca di jurnal ini nih: (Salvador et al. 2014. Production, Consumption, and Nutritional Value of Cassava in Mozambique: an overview. Journal of Agricultural, Biotechnology, and Sustainable Development vol.6(3) pp29-38 June 2014.). Oke, kepo-kepo in singkong udah cukup, sekarang yang jadi pertanyaan yang udah sering ditanyakan, mengapa masakan Jawa identik dengan rasa manis?

Beginilah kurang lebih cerita yang saya sadur dari salah satu website: http://phinemo.com/alasan-orang-jawa-menyukai-makanan-manis/

Semua misteri tentang rasa manis pada masakan jawa terkuak saat saya tak sengaja membaca buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya Haryoto Kunto terbitan tahun 1986. Dalam buku tersebut diulas sedikit tentang mengapa sebagian besar olahan masakan asli Jawa didominasi rasa manis. Diceritakan, saat itu, satu tahun setelah perang Diponegoro pada 1931, Gubernur Jenderal Van der Bosch dililit masalah keuangan yang cukup pelik. Persediaan dana mereka menipis. Dirinya menerapkan sistem tanam paksa, dimana wilayah Jawa Barat diwajibkan untuk menanam kopi, sementara Jawa tengah diwajibkan untuk menanam tebu. Selama 9 tahun, 70% wilayah pertanian diubah menjadi ladang tebu. Hal tersebut menyebabkan bencana kelaparan di wilayah Jawa Tengah. Karena hanya tersedia tanaman tebu, akhirnya masyarakat terbiasa mengkonsumsi tebu untuk bertahan hidup. Semua olahan masakannya-pun akhirnya menggunakan air tebu, sehingga masyarakat di Jawa Tengah akrab dengan gula. Hal ini bertahan hingga zaman modern. Nah, ini dia, sayangnya penggunaan bahan pokok selain beras dan terigu dibarengi dengan penambahan pemanis yang menyebabkan indeks glikemik pada makanan pun meningkat, salah satu contohnya adalah gethuk (berikut referensi IG gethuk tinggi).

Sekian coret-coretan kurang ilmiah yang berawal dari spekulasi. Diketik oleh gadis manis (hahaha) masih turunan Jawa tapi lidahnya udah nggak Jawa dan nggak bisa ngomong Jawa (lagi belajar sama Mbah) karena udah dari jaman Mbah tinggal di daerah Sumatera. Semoga bermanfaat ^_^

0 komentar:

Posting Komentar